Cilegon Compaskotanews.com– Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama Wawan Djunaedi menilai Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK1975 tahun 1975 yang dijadikan dasar penolakan pendirian gereja oleh warga Cilegon, Banten, sudah tidak relevan lagi.
Hal itu ia sampaikan merespons langkah Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Cilegon Sanuji Pentamarta yang menandatangani penolakan pendirian gereja di sebuah kain putih.
“Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK1975 tanggal 28 Maret 1975 sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan dasar penolakan pendirian gereja,” kata Wawan dalam keterangannya, Kamis (8/9).
Sebagai informasi, ketika Cilegon masih menjadi bagian dari Serang, Bupati Serang pada 1975 sempat mengeluarkan Keputusan Bupati Nomor 189/Huk/SK/1975 tanggal 20 Maret 1975 tentang penutupan gereja/tempat jemaat bagi agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang. SK ini yang kemudian diduga menjadi dalih penolakan warga atas pembangunan gereja di Cilegon.
Wawan menjelaskan setidaknya ada tiga faktor SK bupati itu sudah tak relevan lagi. Pertama, regulasi tersebut diterbitkan pada saat komposisi penduduk muslim daerah Cilegon sebesar 99 persen, sebagaimana disebutkan pada konsideran menimbang pada SK Bupati dimaksud.
Di sisi lain, kata Wawan, situasi kota Cilegon sekarang sudah berubah. Berdasarkan data sensus BPS tahun 2010, komposisi umat Kristen di Cilegon telah mencapai 16.528.513, sementara umat Katolik mencapai 6.907.873.
“Jumlah tersebut setara dengan 9,86 persen. Sementara komposisi umat non-muslim secara keseluruhan mencapai 12,82 persen. Bertumpu pada data jumlah penganut agama Kristen di atas, tentu ikhtiyar untuk pendirian rumah ibadah sudah memenuhi kebutuhan nyata,” kata Wawan.
Menag Yaqut Ungkap Izin Wali Kota Sulit Keluar untuk Gereja di Cilegon
Faktor kedua, Wawan mengatakan konsideran ‘menimbang’ SK Bupati tahun 1975 juga merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/BER/mdn-mag/1969 yang keberadaannya sudah dicabut. Aturan itu telah digantikan dengan PMB Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.
Dalam hukum, ada asas lex posterior derogat legi priori, yakni hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama.
“Yang berlaku saat ini adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006,” sebut Wawan.
Faktor ketiga, Wawan mengatakan SK Bupati tahun 1975 diterbitkan dalam konteks merespons Perguruan Mardiyuana sebagai bangunan, bukan rumah ibadah. Sementara pada waktu itu, Perguruan Mardiyuana dipergunakan sebagai gereja. Oleh karenanya, penganut agama Kristen diarahkan untuk menunaikan ibadah di gereja-gereja yang ada di Kota Serang.
Wawan mengaku sudah bertemu dan mendiskusikan persoalan ini dengan Wali Kota Cilegon pada April 2022. Kemenag mengimbau Pemerintah Kota Cilegon memedomani Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.
“Kami juga mengajak FKUB sebagai lembaga kerukunan umat beragama dan seluruh komponen masyarakat untuk kembali berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” tandasnya.
Terkait pendirian rumah ibadah, Wawan meminta Kepala Daerah seharusnya merujuk pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PMB) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.
PMB tersebut mengatur bahwa pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
“Jadi, tidak ada alasan apapun bagi kepala daerah untuk tidak memfasilitasi ketersediaan rumah ibadat ketika calon pengguna telah mencapai 90 orang,” kata Wawan.(tf)