Serang Kota || Compaskotanews.com —
Di tengah geliat pembangunan nasional, kisah klasik tentang jalan rusak di Pandeglang kembali menyeruak ke permukaan. Kecamatan Angsana menjadi sorotan publik usai kondisi jalan di wilayah tersebut viral di media sosial. Tak sekadar retak-retak, jalan utama di sana disebut rusak parah dan nyaris tak bisa dilewati saat hujan turun.
Ironisnya, kondisi ini terjadi di bawah kepemimpinan Bupati Pandeglang yang telah menjabat selama dua periode. Warga pun mulai mempertanyakan: apakah dua periode kepemimpinan belum cukup untuk menyelesaikan masalah infrastruktur dasar?
Minimnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pandeglang disebut-sebut menjadi salah satu alasan mengapa pembangunan jalan kerap tersendat. Meski demikian, warga berharap ada intervensi nyata dari Pemprov Banten atau bahkan pemerintah pusat agar pembangunan bisa terealisasi.
Kini, publik tak hanya bicara soal jalan rusak. Mereka juga menyoroti maraknya pencitraan pejabat di media sosial. Model seperti Kang Dedi Mulyadi (KDM) yang aktif menyapa warganet kini banyak ditiru. Sayangnya, sebagian masyarakat mulai skeptis—apakah unggahan itu benar-benar mencerminkan kerja nyata atau sekadar konten viral?
Toni Firdaus, seorang penggiat publik dari Kota Serang, angkat bicara. Ia menegaskan pentingnya mengawasi kinerja pejabat yang kini begitu aktif bermedsos. “Jangan jadikan media sosial sebagai panggung pencitraan semata. Apa yang Anda unggah akan menjadi jejak digital, dan publik akan menagihnya,” ujarnya.
Ia menyoroti fenomena di mana banyak program dan wacana digembar-gemborkan di dunia maya, padahal realisasi nyatanya masih nol besar. “Baru rencana, tapi gayanya sudah seperti program selesai,” sindir Toni tajam.
Kasus serupa pernah terjadi di masa lalu. Toni mengingatkan soal proyek Jembatan Lintas Sumatera (JLS) yang sempat diumumkan saat Ratu Atut Chosiyah menjabat Gubernur Banten. Proyek ambisius itu menghabiskan anggaran publikasi ratusan miliar, namun hingga kini tak ada jejak fisiknya.
Ia juga menyinggung proyek masjid terapung di Anyer yang digagas era Bupati Serang Taufik Nuriman. Rencana besar itu sempat menjadi sorotan karena dana umat yang terkumpul, namun hingga kini tak terlihat hasil nyata di lapangan.
Menurut Toni, inilah saat yang tepat bagi para pemimpin di Banten untuk membuktikan komitmen mereka. Ia mendesak agar kepala daerah tidak “menge-prank” rakyat dengan proyek-proyek yang hanya indah di rencana namun nihil di lapangan.
Sebagai penggiat publik dari Compaskota, Toni merasa terpanggil untuk terus mengawal kebijakan pemda. “Rakyat harus dilayani, bukan dijanjikan. Kami akan terus mengingatkan,” katanya.
Ia juga menyinggung pentingnya rasa malu dari para pemimpin daerah. “Kalau jalan rusak tak kunjung diperbaiki, apakah itu tak membuat malu? Mau dibawa ke mana wajah daerah ini?” ujarnya lantang.
Meski demikian, Toni mengakui tidak semua pejabat daerah bersikap pasif. Beberapa kepala daerah disebutnya mulai menampakkan perubahan, meski belum merata. Menurutnya, pengawasan publik tetap penting untuk mendorong perubahan yang konsisten.
Publik kini bukan hanya menuntut hasil, tapi juga transparansi. Rakyat sudah semakin cerdas dan kritis dalam menilai mana program nyata dan mana yang sekadar pencitraan belaka.
Jalan rusak di Pandeglang hanyalah satu dari sekian banyak persoalan yang perlu dituntaskan. Tapi dari sinilah, kata Toni, kredibilitas pemimpin diuji—bukan dari seberapa sering mereka tampil di media sosial, melainkan dari seberapa kuat mereka menepati janji.
(Toni f/red)