Serang Kota, 21Maret 2025 ||
Compaskotanews.com – Tradisi pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) di Indonesia kembali menjadi sorotan setelah sejumlah pihak menilai kebiasaan ini sebagai tindakan yang merendahkan martabat. Namun, bagi sebagian besar masyarakat, THR merupakan bagian dari budaya berbagi di bulan suci Ramadan yang telah berlangsung turun-temurun.
Toni Firdaus, seorang pemerhati sosial, menilai bahwa perdebatan mengenai THR yang dihembuskan oleh Dewan Pers Indonesia hanya sekadar narasi yang menyesatkan. “Bagi saya, menjadikan THR sebagai isu yang diperdebatkan di bulan Ramadan adalah sesuatu yang tidak masuk akal,” ungkapnya.
Menurut Toni, THR merupakan bentuk kepedulian sosial yang telah diwariskan oleh nenek moyang umat Muslim di Indonesia. Tradisi ini bukan sekadar ritual tahunan, tetapi juga cerminan nilai kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama.
Ia menegaskan bahwa anggapan yang menyebut THR sebagai tindakan mengemis atau meminta-minta adalah pemikiran yang keliru. “Kalau benar THR itu dianggap hina, maka seharusnya keadilan berlaku untuk semua, termasuk ASN, TNI, dan Polri yang juga menerima THR setiap tahunnya,” kata Toni.
Bulan Ramadan sendiri dikenal sebagai bulan keberkahan, di mana umat Islam dianjurkan untuk berbagi kepada sesama. Hal ini selaras dengan ajaran dalam Al-Qur’an dan Hadis yang menekankan pentingnya memberi kepada yang membutuhkan.
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 177, Allah berfirman bahwa kebaikan sejati bukan hanya dalam ibadah ritual, tetapi juga dalam memberikan harta kepada kerabat, anak yatim, fakir miskin, dan musafir. Sementara itu, dalam Surat Ad-Dhariyat ayat 19, disebutkan bahwa dalam harta seorang Muslim terdapat hak bagi orang miskin yang meminta maupun yang tidak meminta.
Rasulullah SAW pun menegaskan dalam Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim bahwa memberi makanan berbuka kepada orang yang berpuasa akan mendatangkan pahala besar, setara dengan pahala orang yang berpuasa itu sendiri.
Melihat ajaran Islam yang sangat menekankan kepedulian sosial, Toni mempertanyakan mengapa narasi negatif tentang THR justru berkembang. “Jika niatnya adalah berbagi dan membantu, mengapa ada yang berusaha mengaburkan maknanya?” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa Ramadan adalah waktu di mana umat Muslim berlomba-lomba dalam kebaikan. “Dulu, orang tua kita berbondong-bondong memberi sebagian rezekinya demi mencari keberkahan Allah. Sekarang, mengapa justru dianggap sebagai sesuatu yang salah?” katanya.
Menurut Toni, justru semangat berbagi inilah yang perlu terus dijaga, bukan malah diperdebatkan. “Masyarakat perlu memahami esensi THR sebagai bentuk solidaritas, bukan sebagai tindakan meminta-minta,” jelasnya.
Di sisi lain, ada pihak yang berpendapat bahwa THR perlu diberikan dengan bijak agar tidak menimbulkan ketergantungan atau ekspektasi berlebihan. Namun, hal ini bukan berarti tradisi tersebut harus dihapuskan atau dianggap negatif.
Jika tradisi THR ingin tetap berjalan tanpa kontroversi, maka perlu adanya edukasi kepada masyarakat agar memahami bahwa THR bukanlah kewajiban, melainkan bentuk sukarela dalam berbagi kebahagiaan di hari raya.
Dalam konteks ini, peran ulama dan tokoh masyarakat sangat penting untuk meluruskan pandangan yang salah. Dengan pemahaman yang benar, THR akan tetap menjadi tradisi yang membawa manfaat bagi semua pihak.
Toni pun mengajak masyarakat untuk lebih fokus pada inti dari Ramadan, yaitu meningkatkan ketakwaan dan berbagi dengan sesama. “Mari kita kembali kepada esensi ibadah yang sejati. Jika berbagi adalah perintah Allah, mengapa kita harus meragukannya?” pungkasnya.
Dengan demikian, polemik mengenai THR seharusnya tidak lagi menjadi perdebatan yang memperkeruh suasana Ramadan. Sebaliknya, ini adalah momentum untuk mempererat rasa kebersamaan dan kepedulian sosial di tengah masyarakat.
(Toni f/red)