Ketika Pajak Mencekik, Petani Banten Bangkit Melawan

oleh
Ketika Pajak Mencekik, Petani Banten Bangkit Melawan
Ketika Pajak Mencekik, Petani Banten Bangkit Melawan

Ketika Pajak Mencekik, Petani Banten Bangkit Melawan

CompasKotaNews.com – Lonjakan pajak yang memberatkan warga belakangan ini kembali menjadi sorotan. Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, masyarakat menolak keras kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang mencapai 250 persen. Mereka menilai kebijakan ini sangat tidak adil dan jauh dari kondisi ekonomi rakyat. Bahkan, aksi protes berujung pada tuntutan agar bupati setempat mundur dari jabatannya.

Fenomena serupa juga muncul di berbagai daerah. Di Bone, Sulawesi Selatan, PBB naik hingga 300 persen. Jombang, Jawa Timur, mencatat kasus mencolok: dari semula Rp400 ribu, pajak melambung jadi Rp3,5 juta. Sementara itu, di Cirebon, Jawa Barat, lonjakan mencapai 1.000 persen, membuat warga kian tercekik.

Floating Ad with AdSense
X

Sejarah yang Berulang

Peningkatan pajak bukanlah cerita baru. Jika menoleh ke akhir abad ke-19, petani Banten pernah mengalami nasib yang sama. Mereka menghadapi gagal panen, wabah penyakit, serta tekanan ekonomi yang berat. Alih-alih memberi keringanan, pemerintah kolonial justru memberlakukan berbagai pajak yang kejam: pajak kepala, pajak perahu, pajak pasar, hingga pajak ternak.

Banyak petani terpaksa menjual tanah dan hewan ternak demi melunasi utang pajak. Sejarawan Sartono Kartodirdjo menyebut sistem ini “dingin dan tanpa hati”, berbeda dengan tradisi upeti zaman kerajaan yang masih memiliki ikatan sosial.

Ulama Jadi Motor Perlawanan

Di tengah kesengsaraan itu, muncul tokoh agama yang memimpin perlawanan. Haji Wasid bersama ulama lainnya menyatukan semangat rakyat lewat pesantren dan surau. Bagi mereka, melawan pajak kolonial bukan hanya urusan perut, melainkan juga perjuangan iman.

BACA JUGA :  KPK Tindak Tegas Pelaku Korupsi di Kalsel: 4 Pejabat Pemprov Ditangkap, Barang Bukti Puluhan Miliar Rupiah

Meletusnya Pemberontakan Cilegon

Pada 9 Juli 1888, takbir menggema di Cilegon. Para petani bangkit menyerang kantor pemerintahan kolonial dan menargetkan pejabat Belanda maupun pribumi yang dianggap bersekongkol. Sayangnya, perlawanan dengan senjata seadanya tak mampu menandingi persenjataan modern pasukan Batavia.

Banyak pemimpin gugur, sebagian ditangkap, dihukum, bahkan dibuang ke pengasingan. Meski gagal, semangat perlawanan itu tercatat abadi dalam sejarah.

Warisan Perjuangan

Sejarawan Michael Adas menilai pemberontakan Cilegon bukanlah tindakan buta, melainkan bentuk perlawanan sosial yang rasional. Pesan penting dari sejarah ini jelas: pajak seharusnya menjadi kontrak sosial yang adil. Rakyat memberi kontribusi, negara wajib memberi timbal balik berupa kesejahteraan.

Ketika kontrak itu dilanggar, rakyat pun tak segan bangkit melawan. Sejarah petani Banten membuktikan, pajak yang menindas bisa menjadi api perlawanan yang membakar semangat rakyat kecil.