dr. Tan Shot Yen Kritik Menu MBG: Abaikan Pangan Lokal, Dominasi Burger dan Spageti

oleh

dr. Tan Shot Yen Kritik Menu MBG: Abaikan Pangan Lokal, Dominasi Burger dan Spageti

Jakarta.CompasKotaNews.Com
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menuai sorotan. Ahli gizi komunitas, dr. Tan Shot Yen, menilai menu yang disajikan justru jauh dari semangat kedaulatan pangan. Ia heran karena alih-alih mengangkat kekayaan pangan lokal, menu yang diberikan malah didominasi oleh burger dan spageti.

Floating Ad with AdSense
X

“Saya ingin anak Papua bisa menikmati ikan kuah asam, anak Sulawesi makan kapurung, atau anak Jawa makan pecel. Tapi faktanya, dari Lhoknga sampai Papua, yang dibagi malah burger,” kata Tan dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI di Jakarta, Senin (22/9/2025).

Tan menegaskan, menu bergaya Barat seperti burger dan spageti sama sekali tidak mencerminkan identitas pangan bangsa. Selain itu, ia menyoroti kualitas bahan yang digunakan. Di kota besar, isi burger mungkin terlihat mewah dengan chicken katsu. Namun di daerah, kualitasnya bisa menurun drastis.

“Maaf ya, yang di pusat mungkin pakai chicken katsu biar terlihat keren. Tapi di daerah, ada yang cuma dikasih sesuatu tipis berwarna pink. Itu lebih mirip karton daripada daging,” ujarnya menambahkan.

Menurutnya, kebijakan pangan seperti ini berpotensi merugikan anak bangsa karena tidak hanya mengabaikan kearifan lokal, tapi juga bisa menjerumuskan generasi muda ke pola makan ultraprocessed yang miskin gizi.

Profil Singkat dr. Tan Shot Yen

Tan Shot Yen lahir pada 17 September 1964. Ia menamatkan pendidikan kedokteran di Universitas Tarumanegara (1990), lalu melanjutkan profesi dokter di Universitas Indonesia (1991).

Perjalanannya menuntut ilmu juga membawanya ke luar negeri. Ia memperdalam fisioterapi instruksional di Perth, Australia, serta mengambil diploma khusus Penyakit Menular dan HIV/AIDS di Thailand. Tidak berhenti di dunia medis, Tan kemudian melanjutkan studi filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, dan lulus pada 2009.

BACA JUGA :  Pj Wali Kota Serang Yedi Rahmat: Rumah Potong Hewan (RPH) di Lingkungan Trondol Butuh Perbaikan Menyeluruh

Selain berpraktik sebagai dokter dan ahli gizi, Tan aktif menulis, mengisi seminar, serta mengampanyekan literasi pangan (food literacy). Fokus utamanya adalah membangun kesadaran masyarakat tentang kemandirian pangan dan bahaya dominasi makanan olahan instan.

Kritik Menu MBG: Dari Susu hingga Camilan Ringan

Tan Shot Yen juga menyoroti beberapa menu dalam program MBG yang menurutnya tidak relevan, bahkan bisa membahayakan kesehatan anak. Salah satunya adalah susu, yang masih dianggap sebagai komponen wajib.

“Kita sudah meninggalkan era 4 Sehat 5 Sempurna. Susu bukan lagi kebutuhan utama jika sudah ada sumber protein hewani lain, seperti ikan, telur, atau daging. Apalagi, sebagian besar orang Indonesia—khususnya ras Melayu—secara genetik tidak cocok mengonsumsi susu karena rawan intoleransi laktosa,” jelasnya.

Lebih lanjut, Tan mengungkapkan bahwa yang dibagikan di lapangan sering kali bukan susu murni, melainkan minuman bergula tinggi yang justru minim manfaat gizi.
Ia juga menyinggung adanya camilan yang sama sekali tidak layak untuk anak, seperti kacang goreng balut tepung dengan kandungan aspartam. “Di labelnya jelas tertulis tidak cocok untuk balita dan ibu hamil. Tapi kok bisa masuk dalam paket MBG?” tegasnya.

Program yang semestinya dirancang untuk meningkatkan gizi anak bangsa, menurut Tan, seharusnya kembali pada akar: memanfaatkan bahan pangan lokal yang kaya, sehat, dan sesuai dengan budaya makan masyarakat Indonesia.
(Rie/red)
Sumber:Liputan 6