Kesaksian Warga Baduy Dalam Ditolak RS Jakarta Gegara Tak Punya KTP, Luka Begal Nyaris Infeksi Parah!

oleh
Kesaksian Warga Baduy Dalam Ditolak RS Jakarta Gegara Tak Punya KTP, Luka Begal Nyaris Infeksi Parah!
Kesaksian Warga Baduy Dalam Ditolak RS Jakarta Gegara Tak Punya KTP, Luka Begal Nyaris Infeksi Parah!

Oleh: Tim Redaksi CompasKotaNews.com
Dipublikasikan: 8 November 2025

Seorang remaja dari Suku Baduy Dalam, Repan (16 tahun), menjadi korban pembegalan di Jakarta yang berujung pada penolakan perawatan medis di rumah sakit setempat. Alasannya? Kurangnya Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kasus ini kembali menyoroti masalah akses jaminan kesehatan nasional (JKN) bagi masyarakat adat di Indonesia, khususnya warga Baduy yang terikat adat ketat tanpa identitas formal. Pemerintah DKI Jakarta menyebutnya sebagai kesalahpahaman, tapi para pakar mendesak solusi lebih inklusif untuk melindungi hak dasar warga marjinal.

Floating Ad with AdSense
X

Insiden tragis ini terjadi pada akhir Oktober 2025, ketika Repan sedang menjual madu di ibu kota. Luka sobek di tangan kirinya akibat serangan pisau pembegal tak kunjung tertangani optimal, memicu perdebatan nasional soal diskriminasi administratif terhadap kelompok adat. Bagaimana negara menjamin hak kesehatan konstitusional bagi mereka yang hidup di luar sistem birokrasi modern?

Kronologi Tragis: Dari Pembegalan hingga Penolakan di Rumah Sakit

Pagi buta, sekitar pukul 04.00 WIB pada 26 Oktober 2025, Repan berjalan sendirian di Jalan Pramuka Raya, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Jalanan masih sepi ketika empat pria tak dikenal mendekat dengan dua motor. Mereka langsung merampas tas Repan yang berisi 10 botol madu senilai Rp1,5 juta dan uang tunai Rp3 juta—total kerugian mencapai Rp4,5 juta.

Repan berusaha merebut tasnya kembali, tapi salah satu pelaku mengayunkan celurit kecil ke arah lehernya. Remaja itu berhasil menangkis dengan tangan kiri, tapi akibatnya luka dalam yang langsung mengucurkan darah. Pipi kirinya juga tergores ringan. Para pelaku kabur meninggalkan Repan yang terluka parah di trotoar sepi.

BACA JUGA :  Amarah Warga Memuncak, Ponpes di Kabupaten Serang Dibakar Massa

Tanpa pikir panjang, Repan mencari rumah sakit terdekat untuk pertolongan pertama. Namun, di sana ia justru ditanya dokumen identitas. “Saya bilang tidak punya KTP karena adat kami,” cerita Repan. Petugas rumah sakit menyarankan ia ke fasilitas lain yang katanya lebih dekat, tapi Repan kebingungan dengan lokasi. Saat kembali, luka tangannya hanya dibalut kain kassa sederhana tanpa pembersihan atau obat-obatan, bahkan dilakukan di luar ruang perawatan.

Mendengar nasihat petugas untuk “pulang saja ke kampung dan temui orang tua,” Repan sadar perjalanan tiga hari berjalan kaki ke Baduy Dalam bukan pilihan bijak. Ia pun menghubungi kenalan keluarga, Johan Chandra (disebut ‘Pak Nelo’), seorang pelanggan madu yang tinggal di Tanjung Duren, Jakarta Barat—jarak sekitar 11 km dari lokasi.

Pertolongan Darurat dari Warga Biasa: Peran Johan Chandra

Tiba di rumah Johan sekitar pukul 08.30 WIB, Repan sudah lemas dan menangis kesakitan. Johan terkejut melihat balutan kain kassa yang basah darah. “Darahnya langsung muncrat saat dibuka,” kenang Johan, yang sudah mengenal keluarga Repan selama tiga tahun.

Mereka segera ke klinik terdekat, tapi kondisi Repan memburuk hingga disarankan ke rumah sakit lebih besar. Meski Johan menawarkan mobil, Repan bersikeras jalan kaki—mungkin karena kebiasaan adatnya. Mereka menempuh dua kilometer ke Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia (Ukrida). Di sana, Repan akhirnya mendapat perawatan layak, termasuk jahitan luka.

Sementara itu, paman Repan, Ata, baru tahu kejadian itu pada 31 Oktober karena sinyal buruk di perkebunan Baduy Luar. “Kami sangat bersyukur atas bantuan Pak Nelo. Tanpa dia, nyawa Repan mungkin terancam,” ujar Ata. Kini, Repan dirawat di Rumah Singgah Provinsi Banten, Jakarta Selatan, ditemani Ata dan paman lain, Dani Saeputra. Mereka sudah laporkan kasus ke Polsek Cempaka Putih pada 2 November 2025, tapi penyidikan masih mandek.

BACA JUGA :  Miris! Penjual Gorengan di Tangsel Tersiram Minyak Panas Akibat Jadi Korban Tabrak Lari

Warga Baduy Luar lain ikut menjenguk, termasuk Enip, panggiva desa setempat. “Kami ambil langkah hukum agar kasus begal seperti ini tak terulang. Kalau dibiarkan, akan menakuti pedagang madu kami,” tegas Enip.

Respons Pemerintah: Miskomunikasi atau Masalah Sistemik?

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung membantah adanya penolakan layanan bagi warga Baduy di RS milik pemda. “Itu miskomunikasi semata. Kami sudah periksa, tidak ada larangan sama sekali,” katanya usai memanggil Kepala Dinas Kesehatan DKI. Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menambahkan, “Layanan kesehatan adalah hak semua warga, punya NIK atau tidak.”

Di Banten, warga Baduy Dalam memang dilindungi akses kesehatan tanpa KTP atau BPJS selama di wilayah provinsi itu. Tapi saat ke luar—like ke Jakarta—mereka rentan terhambat birokrasi. Kasus Repan ini mirip insiden sebelumnya, di mana adat Baduy melarang identitas elektronik untuk menjaga kemurnian budaya.

Pandangan Pakar: Administrasi Jangan Kalahkan Hak Konstitusional

Koordinator BPJS Watch, Timbul Siregar, mengecam penolakan awal itu sebagai pelanggaran Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. “Azas keselamatan pasien wajib diutamakan. Pasal 13 huruf k dan Pasal 29 ayat 1 huruf f jelas melarang diskriminasi. Jangan tanya KTP dulu, tangani korban penganiayaan segera!” tegas Timbul.

Lebih lanjut, berdasarkan Perpres 82 Tahun 2018 Pasal 52 ayat 1 huruf R, biaya perawatan korban kekerasan seperti Repan ditanggung negara—tanpa perlu dokumen awal. “Pemerintah harus lebih kreatif akomodasi masyarakat adat. Jangan biarkan administratif mengalahkan hak konstitusional,” tambahnya.

Pengamat sosial menyoroti bahwa ribuan warga Baduy rutin ke Jakarta untuk berdagang, tapi infrastruktur perlindungan sosial belum merata. Solusi potensial: Kartu identitas khusus adat atau protokol darurat untuk korban tanpa dokumen.

BACA JUGA :  Arogansi Polisi di Kota Serang Tembak 2 Pebalap Liar di KP3B Berujung di Bui

Kesimpulan: Waktunya Reformasi Inklusif untuk Masyarakat Adat

Kasus Repan bukan sekadar cerita pribadi, tapi cermin ketidakadilan sistemik terhadap masyarakat adat di era JKN. Dengan lebih dari 1,5 juta warga Baduy yang bergantung pada perdagangan tradisional, pemerintah pusat dan daerah harus segera benahi regulasi. Hak kesehatan universal tak boleh terhenti di ambang birokrasi—itu janji konstitusi yang harus ditepati.

Gambar unggulan: Repan menunjukkan luka di tangan kirinya akibat serangan begal (Sumber: Dokumen pribadi).
CompasKotaNews.com berkomitmen menyajikan berita terkini soal isu sosial dan hak asasi manusia. Bagikan pendapat Anda di kolom komentar!

Kata kunci terkait: warga Baduy ditolak RS, akses kesehatan masyarakat adat, kasus begal Jakarta, jaminan BPJS tanpa KTP, hak konstitusional warga marjinal.