
UNTIRTA Dorong Transformasi Teknologi Pesisir, Nelayan Argawana Mulai Masuk Era Data
Serang, CompasKotaNews.com — Di tengah tekanan perubahan iklim yang semakin nyata, para nelayan tradisional Indonesia menghadapi tantangan baru: cuaca yang kian tidak menentu, pergeseran pola arus laut, hingga anomali musim yang memengaruhi keberadaan ikan. Situasi ini bukan hanya dialami nelayan di wilayah-wilayah besar, tetapi juga komunitas pesisir kecil seperti Desa Argawana, Kecamatan Puloampel, Kabupaten Serang.
Menjawab kebutuhan itu, tim dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) melaksanakan pelatihan teknologi pemantauan lingkungan pesisir yang melibatkan lebih dari lima puluh nelayan Argawana. Kegiatan yang berlangsung pada Oktober-November 2025 ini merupakan bagian dari program pengabdian masyarakat bertema Integrasi Pengetahuan Sains dan Kearifan Lokal untuk Konservasi Ekosistem Pesisir, sebuah inisiatif yang memperoleh dukungan pendanaan dari Direktorat Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.

Pelatihan ini memperkenalkan perangkat teknologi yang selama ini lebih lazim digunakan dalam dunia penelitian dan industri perikanan modern. Mulai dari weather station untuk membaca kondisi atmosfer secara real-time, refraktometer untuk menganalisis karakteristik perairan, hingga alat uji salinitas dan pH yang menjadi indikator penting kesehatan laut. Kehadiran alat-alat tersebut membuka ruang baru bagi nelayan Argawana: memasuki era pengambilan keputusan berbasis data.
Ketua tim kegiatan, Mahpudin, menyebut bahwa pelatihan ini lahir dari kebutuhan mendesak untuk menjembatani gap antara pengetahuan tradisional dan dinamika perubahan iklim. Menurutnya, kemampuan membaca tanda-tanda alam selama ini menjadi kekuatan nelayan tradisional. Namun situasi cuaca yang semakin ekstrem membuat pendekatan tersebut tidak lagi memadai untuk mengantisipasi risiko di laut.

“Nelayan kita sebenarnya sangat adaptif, tetapi kondisi iklim kini bergerak jauh lebih cepat daripada pola lama. Data ilmiah menjadi kompas tambahan yang bisa menyelamatkan nyawa,” ujar Mahpudin. Ia menegaskan bahwa program ini tidak berniat menggantikan kearifan lokal, tetapi memperkuatnya melalui pendekatan citizen science—model pembelajaran yang mendorong masyarakat menjadi produsen sekaligus pengguna data ilmiah.
Di lapangan, antusiasme warga terlihat nyata. Para nelayan tidak hanya mempelajari teori, tetapi langsung mempraktikkan penggunaan alat-alat tersebut. Mereka membaca hasil pengukuran cuaca dari weather station, mencoba refraktometer melalui simulasi, serta menguji sampel air laut menggunakan alat salinitas dan pH. Keseluruhan proses dirancang agar teknologi yang biasanya identik dengan laboratorium sains dapat digunakan dalam konteks keseharian nelayan tradisional.

Ali, Ketua Kelompok Nelayan Argawana, mengakui bahwa pelatihan ini menjawab keresahan yang selama ini mereka alami. Ia menyebut bahwa pengalaman turun-temurun memang penting, tetapi perubahan cuaca yang tiba-tiba kerap membuat keputusan melaut menjadi pertaruhan besar. “Dengan alat seperti weather station dan refraktometer, kami tidak lagi menebak-nebak. Kami bisa melihat kondisi laut secara lebih jelas,” ujarnya. “Ini bukan hanya soal hasil tangkapan, tetapi soal keselamatan.”
Program ini tidak berhenti pada pelatihan satu hari. UNTIRTA menyiapkan pendampingan berkala, termasuk monitoring pencatatan harian oleh nelayan, evaluasi bulanan, serta publikasi data melalui papan informasi cuaca desa. Seluruh data yang dihasilkan tidak hanya bermanfaat bagi nelayan, tetapi juga dapat mendukung pemerintah desa, dinas teknis, hingga lembaga riset sebagai informasi dasar perencanaan pesisir.
Di tengah wacana besar mengenai transformasi digital, modernisasi sektor kelautan, dan penguatan literasi saintifik, program ini menunjukkan bagaimana intervensi teknologi yang sederhana namun tepat sasaran dapat membawa dampak besar bagi komunitas akar rumput. Pendekatan ko-kreasi yang digunakan memastikan bahwa transfer teknologi tidak bersifat top-down, tetapi dibangun melalui dialog dan adaptasi yang menghormati cara hidup masyarakat pesisir.
Dalam konteks nasional, inisiatif yang dilakukan UNTIRTA ini selaras dengan agenda pemerintah untuk memperkuat ketangguhan masyarakat pesisir—sektor yang menjadi ujung tombak ketahanan pangan laut Indonesia. Di tengah ketidakpastian iklim global, program seperti ini menegaskan bahwa adaptasi bukan hanya soal infrastruktur besar, tetapi juga peningkatan kapasitas komunitas yang hidup paling dekat dengan sumber daya laut.
Dengan masuknya teknologi pemantauan lingkungan ke desa-desa pesisir seperti Argawana, nelayan tidak hanya menjadi pengguna informasi, tetapi bagian dari ekosistem data nasional. Penguatan citizen science dalam konteks pesisir dapat menjadi model baru untuk membaca perubahan iklim secara lebih presisi, sekaligus mendorong strategi pengelolaan laut yang lebih inklusif dan berbasis pengetahuan.
Program ini menjadi salah satu contoh konkret bagaimana perguruan tinggi dapat berada di garis depan dalam menghubungkan sains, teknologi, dan masyarakat. Lebih dari itu, ia menunjukkan bahwa upaya memperkuat ketahanan pesisir tidak melulu membutuhkan teknologi canggih—yang diperlukan adalah teknologi yang tepat, relevan, dan dapat dioperasikan langsung oleh masyarakat. Di Puloampel, langkah kecil itu telah dimulai.







