CompasKotaNews.com – Pada hari Minggu (28/01), jagat media sosial dihebohkan oleh video singkat di TikTok yang diunggah oleh akun @elhasyaaa. Dalam video tersebut, pengguna media sosial ini mengklaim menerima uang sebesar Rp25.000, terdiri dari pecahan Rp5.000, sebagai biaya transportasi setelah menghadiri pelantikan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Video ini mendapatkan perhatian luas setelah diunggah di platform X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter), dengan beragam komentar dari warganet yang menyampaikan pengalaman serupa.
Beberapa netizen menyatakan bahwa mereka menerima uang transportasi sebesar Rp200.000 di daerah mereka, sementara ada juga yang mengakui tidak menerima imbalan serupa sama sekali. Kontroversi muncul ketika sebagian warganet menduga adanya penyimpangan anggaran, dengan nilai yang diterima oleh @elhasyaaa dianggap kurang dari yang seharusnya. Beberapa pengamat menegaskan bahwa dugaan seperti ini perlu diinvestigasi secara menyeluruh, karena perilaku semacam itu dianggap sebagai tindakan koruptif yang tidak dapat ditolerir.
“Tidak boleh ada kejanggalan yang luput dari penyelidikan, karena bisa jadi ini adalah bagian dari potensi skandal yang lebih besar terkait penyimpangan dalam pengadaan,” ujar Titi Anggraini, seorang dosen pemilihan umum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Mengingat catatan kelam Pemilu 2019, di mana sejumlah anggota KPPS mengalami sakit hingga meninggal dunia dalam menjalankan tugas mereka, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebenarnya telah meningkatkan honorarium bagi anggota KPPS dalam Pemilu 2024 sekitar dua kali lipat. Namun, muncul pertanyaan mengapa masih ada perbedaan besaran uang transportasi atau tunjangan harian di berbagai daerah. Apakah perbedaan ini memang wajar atau seharusnya diadakan standarisasi yang lebih jelas untuk mencegah adanya disparitas yang merugikan? Hal ini menjadi pertanyaan yang perlu dicari jawabannya dalam rangka meningkatkan transparansi dan keadilan dalam pengelolaan dana untuk penyelenggaraan pemilihan umum.
Apa Yang Dimaksud KPPS dan Apa Fungsinya?
Titi Anggraini, seorang dosen Pemilu dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengungkapkan kepada BBC News Indonesia bahwa petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) memegang peran kunci sebagai “garda terdepan dalam proses pemilu”. Dalam wawancara dengan Amahl Azwar pada Senin (29/01), Titi menyoroti bahwa KPPS bertanggung jawab atas pemungutan dan penghitungan suara, yang merupakan tahap puncak dalam proses pemilu.
“Hari pemungutan suara adalah saat setiap warga negara memberikan suaranya melalui fasilitasi KPPS. Suara tersebut kemudian dihitung sesuai dengan niat atau kehendak pemilih. Murninya suara pemilih pada hari-H pemilu sepenuhnya bergantung pada kapasitas dan integritas petugas KPPS,” ujar Titi.
Menurut Titi, petugas KPPS memiliki peran krusial dalam menentukan keabsahan suara pemilih. Tanpa kemampuan yang memadai, suara pemilih bisa dianggap tidak berharga karena kesalahan dalam menilai keabsahan coblosan. “Bayangkan jika suara sah dianggap tidak sah. Dampaknya akan fatal, suara pemilih menjadi tidak berarti, dan kandidat yang seharusnya menang malah kehilangan kursi,” tambah Titi.
Khoirunnisa Agustyati, seorang pengamat politik dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menekankan bahwa KPPS adalah “ujung tombak” dalam penyelenggaraan pemilu. Kelancaran proses di Tempat Pemungutan Suara (TPS) sangat tergantung pada kecermatan anggota KPPS. Khoirunnisa menyoroti kompleksitas tugas petugas KPPS, yang tidak hanya bekerja saat pemungutan suara, tetapi juga dalam persiapan dan penghitungan suara.
Rima Baskoro, seorang analis kebijakan publik di Rima Baskoro & Partners dan alumni Master of Public Policy dari Monash University, menegaskan peran krusial KPPS dalam mengawal demokrasi. Dia menyoroti pentingnya dukungan fisik dan kesehatan mental bagi petugas KPPS agar mereka dapat melaksanakan tugas dengan baik.
Rima juga menekankan bahwa petugas KPPS harus memiliki integritas tinggi untuk memastikan validitas data pemilih dan perhitungan suara. Mereka juga berperan dalam mewujudkan kedaulatan pemilih dengan melayani semua pemilih, termasuk yang memiliki disabilitas. Selain itu, pengetahuan yang cukup tentang tugas, hak, dan kewenangan yang diberikan oleh negara juga menjadi syarat bagi petugas KPPS.
Rima menggarisbawahi bahwa petugas KPPS memiliki peran sebagai saksi dalam mendeteksi dugaan pelanggaran pada hari pencoblosan, dan kasusnya dapat disidangkan di Mahkamah Konstitusi. Dalam konteks ini, Titi menyoroti permasalahan kesehatan dan kelelahan petugas KPPS pada Pemilu 2019, yang menyebabkan 144 petugas meninggal dunia. Menurut Titi, hal tersebut disebabkan oleh beban kerja yang melampaui standar normal, memicu kelelahan dan penyakit komorbid seperti jantung, darah tinggi, dan diabetes.
Kenapa Besaran Uang Transport Anggota KPPS Berbeda
Video TikTok yang viral dengan akun @elhasyaaa menciptakan sensasi di kalangan warganet. Dalam video singkat berdurasi dua menit, pengguna TikTok tersebut menceritakan pengalamannya menghadiri pelantikan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Dia, yang berdomisili di Parung, Kabupaten Bogor, mengklaim menerima uang transportasi sebesar Rp25.000 dalam pecahan Rp5.000 setelah acara tersebut.
Awalnya, harapan pengguna TikTok ini adalah mendapatkan uang transportasi sekitar Rp50.000 atau bahkan lebih. Namun, ketika dia membuka amplop, dia terkejut melihat lima lembar uang pecahan Rp5.000. Meskipun dia menyatakan bersyukur, dia juga menyampaikan rasa kagetnya atas nominal yang dianggapnya kecil untuk acara sebesar pelantikan anggota KPPS.
Video ini diunggah di sebuah akun X dan mendapatkan perhatian warganet. Beberapa warganet menyatakan bahwa mereka menerima uang transportasi sejumlah Rp200.000 di daerah mereka, sementara yang lain bahkan tidak mendapatkannya sama sekali. Hal ini menciptakan diskusi di media sosial, terutama di akun resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Instagram.
Warganet membanjiri akun KPU dengan pertanyaan mengenai besaran uang transportasi yang seharusnya diterima oleh anggota KPPS. KPU merespons dengan menjelaskan bahwa uang transportasi yang diterima oleh anggota KPPS bervariasi di setiap daerah, disesuaikan dengan peraturan daerah (perda) dan kesepakatan dengan pemerintah setempat. Mereka juga menegaskan bahwa semua anggota KPPS mendapat honor yang sama.
Komisioner KPU, Betty Epsilon Idroos dan Yulianto Sudrajat, mengonfirmasi pernyataan KPU tersebut kepada BBC News Indonesia. Namun, sebagian warganet menduga adanya potensi penyimpangan anggaran dan meragukan jumlah yang diterima oleh anggota KPPS.
Titi, seorang tokoh masyarakat, menyoroti pentingnya menyelidiki segala kejanggalan tersebut, mengingat bahwa dugaan seperti ini bisa merusak integritas pemilu. Dia juga mengingatkan agar petugas KPPS tetap etis dalam bermedia sosial dan tidak hanya fokus pada honor semata.
KPU sendiri telah meningkatkan honor anggota KPPS untuk Pemilu 2024, namun beberapa warganet meragukan kecukupan nominal tersebut. Titi menegaskan pentingnya menjaga kredibilitas pemilu dan demokrasi Indonesia, sementara Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menyarankan agar besaran uang transportasi standar di semua daerah.
Rima Baskoro, analis kebijakan publik di Rima Baskoro & Partners, menambahkan bahwa potensi sunat anggaran dapat terjadi akibat kurangnya pengawasan, transparansi, kesadaran, pengetahuan, dan insentif. Dia menyatakan prihatin atas nominal yang dianggap kecil untuk tanggung jawab sebesar itu, dan mengingatkan bahwa proses demokrasi memerlukan insentif yang layak bagi semua pihak yang terlibat.