Jakarta, 02 Mei 2024 || Compaskitanews.com — Sejak 2015, pemerintah pusat telah menggelontorkan dana desa dengan harapan mendorong pembangunan dan mengurangi kemiskinan di pedesaan. Namun, anggaran ini telah membuka celah bagi praktik korupsi yang merugikan masyarakat desa. Skandal korupsi dana desa semakin meningkat dan menjadi sorotan publik, dengan potensi dampak yang besar, termasuk penghentian penyaluran dana oleh pemerintah pusat.
“Masalah korupsi ini harus menjadi perhatian serius kita semua. Banyak laporan tentang penyalahgunaan dana desa, dari yang digunakan untuk karoke hingga berbagai kegiatan yang tidak terkait dengan pembangunan desa,” ungkap Jaka Sucipta, Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dalam sebuah diskusi di Yogyakarta pada Kamis (2/5/2024).
Menurut data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2022, ada 155 kasus korupsi di sektor desa dengan total kerugian negara mencapai lebih dari Rp 381 miliar. Praktik suap dan pungli sendiri mencapai Rp 2,7 miliar, menunjukkan bahwa desa kini menjadi sektor dengan kasus korupsi terbanyak, mengalahkan sektor pendidikan dan pemerintahan.
Sejak pemerintah mulai menyalurkan dana desa pada 2015, tren kasus korupsi di pemerintahan desa terus meningkat. Pada 2016, terdapat 17 kasus dengan 22 tersangka. Namun, pada tahun 2022, jumlah kasusnya melonjak drastis hingga 155 kasus dengan 252 tersangka.
Jaka Sucipta menjelaskan, untuk menekan kasus korupsi dana desa, Kementerian Keuangan telah menerapkan strategi mitigasi yang tegas. “Setiap kali ada penyalahgunaan dana desa, penyalurannya langsung kami hentikan. Jika kepala desa atau perangkat desanya terkena kasus korupsi, dana desa akan dihentikan sampai pejabat pengganti ditunjuk. Selain itu, desa yang terlibat kasus korupsi juga tidak boleh ikut dalam kompetisi untuk mendapatkan insentif desa,” katanya.
KPK juga mengidentifikasi lima titik celah yang sering dimanfaatkan untuk mengorupsi dana desa: proses perencanaan yang rawan nepotisme, pelaksanaan yang kurang transparan, pengadaan barang dan jasa dengan markup dan transaksi fiktif, pertanggungjawaban yang tidak akurat, serta monitoring dan evaluasi yang tidak efektif.
Pada periode 2015-2024, pemerintah telah menyalurkan total dana desa sebesar Rp 609,98 triliun. Namun, dengan meningkatnya kasus korupsi, penggunaan dana desa menjadi sorotan dan memerlukan pengawasan yang lebih ketat.
Jaka Sucipta menegaskan, pihaknya akan terus memperketat pengawasan dan memberikan sanksi tegas untuk menekan kasus korupsi. “Kita ingin dana desa benar-benar digunakan untuk kesejahteraan masyarakat desa, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Ini harus menjadi prioritas kita bersama,” tegasnya.
Dengan demikian, pengawasan dan partisipasi aktif dari masyarakat desa sangat penting untuk memastikan dana desa digunakan sesuai dengan tujuannya. Desa-desa yang terlibat korupsi harus diberi sanksi, sementara desa yang transparan dan akuntabel harus didorong untuk terus berkembang. Hanya dengan cara ini, potensi besar dana desa dapat dimanfaatkan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
(Toni f/red)